Feeds:
Pos
Komentar

Archive for November 23rd, 2009

Oleh : Boedi Tjahjono (Kompasiana.com, 15 November 2009  )

Boedi Tjahjono, Mantan Pertamina dan Praktisi Bidang Energi & Migas, dalam sebuah artikelnya di Kompasiana.com tanggal 15 November 2009 baru-baru ini, memberi tanggapan atas komentar  Faisal Basri, seorang Pengamat Ekonomi , dan mengatakan  “Bung Faisal terima kasih atas tanggapan anda, dan diagram alur “bagi hasil” produksi Migas amat membantu untuk mengerti alur dari sistem Production Sharing Contract”(“Migas-Kekayaan yang Terkubur”)

“Saya amat tertarik dengan kata-kata ‘monetisasi kekayaan alam’, dimana dalam pengertian saya untuk monetisasi, bahwa kekayaan alam baru memiliki ‘value’ atau nilai moneter bila sudah dapat dibuktikan dan terukur secara quantitative dan qualitative secara teknis, administratif dan legal”. “Melihat bagan alur yang anda sajikan, tentu akan timbul pertanyaan ..siapa yang me-manage, mengelola proses alur PSC tersebut , khususnya yang menjadi bagian dari Negara?”,  demikian tanggapan Boedi  lebih lanjut.

Sejak ditetapkannya UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas pada tanggal 23 Nopember 2001 dan PP No. 42 tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas maka masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Bagi Hasil (Productions Sharing) yang sebelumnya dilaksanakan oleh PERTAMINA kini dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BPMIGAS .

Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung didalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Dan selanjutnya pemerintah membentuk Badan Pelaksana untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS).

Produksi crude oil Republik ini sekarang  sekitar 900,000 BOPD (Barrel Oil Per Day) dan produksi gas sekitar 7500 juta kaki kubik per hari ( 7500 MMSCFD) atau sekitar 7.5 juta MMBTU dan ini semua dikelola oleh BP Migas.

Berarti BP Migas mengelola Revenue Negara (dengan asumsi kasar harga Crude Oil $60/BBL dan harga gas $ 3/MMBTU) dengan nilai sekitar :

Crude Oil : 900,000bblx$60/BBL= $ 54 juta/hari atau sekitar $ 19.7 milyar/tahun

Gas Alam : 7.5 juta MMBTU/day x $ 3/MMBTU = $22.5 juta/hari atau sekitar $ 8.2 milyar/tahun.

Total sekitar $19.7 milyar + $ 8.2Milyar = $ 27.9 milyar/Tahun = sekitar Rp 279 trilliun/th

“Jumlah yang  fantastic, dan  ini merupakan revenue dari “giant corporation”, demikian kata Boedi.

“Perputaran uang sebesar ini, semua dikelola dan di manage di BP Migas, dan kalau melihat nilai perputaran uang BP Migas merupakan lembaga non departemen yang mengelola perputaran uang yang terbesar di Republik ini”.

“Perusahaan Publik yang listing di BEJ, yang “turn over-nya” mungkin hanya 1/100 dari nilai “turn over” , BP Migas diwajibkan secara regular memberikan laporan kinerja-nya yang berupa balance sheet dan profit & loss statement secara regular kepada publik, tapi publik tidak pernah melihat sepotong juga laporan kinerja BP Migas dari aspek finansial di publikasikan”, demikian lebih lanjut kata Boedi Tjahjono.

Masih menurut BP Migas, cadangan minyak terbukti Indonesia masih sekitar 3,900 MMSTB (Million Standard Barrel), dan cadangan terbukti gas sekitar 90 TCF (trillion cubic feet), apabila cadangan ini benar dan sudah tersertifikasi, berarti nilai monetisasi-nya adalah sekitar :

Crude Oil = 3,900,000,000 x $60 = $ 234,000,000,000

Gas Alam = 90,000,000,000MMBTU x $3/MMBTU = $ 270,000,000,000

Total Nilai Monetisasi sekitar $ 500 milyar.

Ini yang mungkin dimaksud “monetisasi” kekayaan alam minyak dan gas bumi oleh Faisal Basri, tinggal bagaimana kita mengelolanya.

Tapi kalau cara pengelolaannya tidak ada sistem pengaturannya untuk pertanggungan jawab ke publik secara transparan, maka hal ini tentunya sangat disayangkan sekali (catatan : hal ini perlu counter check ke BPMigas).

Read Full Post »

Oleh : Prof. Syamsir Abduh, Guru Besar Universitas Trisakti

Ringkasan :

Secara teoritis penentuan harga listrik (TDL) bertujuan:

Pertama, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara efisien untuk terciptanya penggunaan tenaga listrik secara optimal.

Kedua, menjamin agar konsumen dilayani secara sama dan berimbang.

Ketiga, menjamin bahwa pengelola jasa ketenagalistrikan (PLN) dapat terjamin kelangsungan hidupnya secara finansial.

Jika Pemerintah keliru dalam menetapkan harga (TDL) maka dapat berimplikasi tidak tercapainya ketiga tujuan ini.

Dengan skenario kenaikan seperti yang telah dikemukan diatas dimana sektor industri akan merasakan tekanan yang paling berat, apalagi industri dimana listrik sebagai komponen utama dalam produksi mereka, bukannya pertumbuhan ekonomi yang dicapai, malah dapat membangkrutkan usaha mereka.

Secara makro ekonomi juga dapat dibuktikan, misalnya, hasil penelitian Prof.  Syamsir Abduh,  menunjukkan telah terjadi kerugian kesejahteraan (welfare loss)  dalam perhitungan TDL 2002 sebesar 0,45 persen.

Ini berarti bahwa setiap satu persen kontribusi listrik PLN terhadap GNP Indonesia diwaktu itu telah terjadi reduksi GNP sebesar 0,45 persen akibat penetapan TDL yang keliru.

Apakah kenaikan TDL diperbolehkan?  Kenaikan TDL sah-sah saja untuk menjaga kelangsungan pengelolajasa ketangalistrikan (PLN) asalkan memenuhi empat serangkai prinsip dasar yaitu : well definedwell financedwell managed, dan well priced.

Bagaimana PLN  menjaga kelangsungan hidup finansialnya?

Jika memperhatikan struktur finansial PLN maka TDL adalah satu-satunya revenue requirement untuk menutup biaya investasi dan biaya operasional mereka.

Dalam praktek, konsumen dibebani oleh biaya beban (capacity charge dalam VA) sebagai representasi dari investasi dan biaya pemakaian (energy charge dalam kWh) sebagai representasi biaya operasional serta biaya penyambungan.

Semestinya, pelanggan hanya dibebani biaya pemakaian saja agar memudahkan dalam perhitungan dan pembacaan meter.

Read Full Post »

Asap kendaraan bermotor dan pabrik di Jakarta membuat wilayah Ibu Kota sangat miskin udara bersih. Alhasil, terjadi kerusakan lingkungan dan asap tersebut membahayakan kesehatan.

Maka, pada 2000, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menelurkan Surat Keputusan Nomor 95 tentang Pemeriksaan Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta. Pengawasan terhadap emisi juga dilandasi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Undang-undang mengharuskan setiap kendaraan yang berjalan beremisi baik.

Ada lagi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, yang mengatur sanksi pidana bagi pelanggarnya. Menurut Pasal 98 Ayat 1 Undang-Undang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, orang yang menyebabkan pencemaran yang melebihi batas dipidana penjara 3-10 tahun dan denda Rp 3-10 miliar.

Menurut Hotman Silaen, Kepala Kantor Lingkungan Hidup (BPLHD) Kota Jakarta Utara, emisi adalah gas buang dari sumber kendaraan bermotor sebagai hasil proses pembakaran di ruang mesin. Pengendalian emisi tidak hanya dilakukan pada mesin bergerak, tapi juga mesin tak bergerak, seperti mesin pabrik. Bersama BPLHD DKI Jakarta, uji emisi rutin dilakukan terhadap industri, terutama di Jakarta Utara, minimal enam bulan sekali.

Berpegang pada aturan tersebut, Hotman menggelar sosialisasi uji emisi. Pada 2 November lalu, BPLHD bersama Polres Jakarta Utara mengadakan uji emisi gratis di lapangan Balai Kota Jakarta Utara.
Lalu, pada 5 November 2009, diadakan acara serupa di Jalan Yos Sudarso, tepatnya di depan Depo BBM Pertamina Plumpang. Hasil uji emisi kedua, dari total 202 mobil pribadi dan angkutan umum, 115 kendaraan berbahan bakar bensin (92 lolos) dan 87 berbahan bakar solar (31 lolos).
“Tingkat emisi kendaraan di Jakarta sangat buruk,” ujarnya akhir pekan lalu kepada Tempo Gading.

Warga Kelapa Gading menanggapi secara beragam aturan yang berlaku mulai 1 November 2009 untuk mobil dan awal tahun depan untuk sepeda motor itu. Giovanni A. Widjaja, 33 tahun, menduga aturan itu sulit dijalankan. Ia mencontohkan, aturan KIR pada angkutan umum juga tak dilaksanakan dengan baik.
“Apalagi mengawasi mobil pribadi, yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Siap nggak petugasnya?” kata principal sebuah broker properti kondang di Kelapa Gading itu pekan lalu.

(Girvan Sjafari | Thowaf  Zuhharon , Koran Tempo, 16 Nop 2009).

Read Full Post »

Rentetan gempa besar di pesisir barat Sumatera dan selatan Jawa meninggalkan misteri di Selat Sunda, yang terletak di antara kedua pulau itu. Ketika daerah lain sudah berderak dan berusaha menyeimbangkan diri dengan cara melepaskan energi impit-impitannya, palung di selat ini seperti diam dan terkunci.

Secara kasatmata, selat itu seperti “dilompati” begitu saja oleh rentetan gempa besar.

Dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai profesor riset bidang geologi-geofisika, Jumat lalu, Deputi Kepala LIPI untuk Ilmu Pengetahuan Kebumian Hery Harjono menjelaskan bahwa Selat Sunda bukan sekadar perairan yang memisahkan Jawa dan Sumatera. Selat itu terletak pada perpindahan subduksi tegak lurus ke subduksi miring.

Diduga, lempeng Indo-Australia yang menghunjam di bawahnya mengalami deformasi sedemikian kuatnya sehingga jadi sobek. Kalaupun tidak sobek, lempeng yang menghunjam di bawah Selat Sunda dalam keadaan tertekuk dan menimbulkan kelurusan gempa berarah U50T (timur laut).

Selat Sunda dan sekitarnya mengalami ekstensi sebagai akibat pergerakan lempeng mikro Sumatera ke arah barat laut sejak masa Ogliosen Atas (28 juta tahun lalu). Diduga sebelum masa ini Jawa-Sumatra masih membentuk garis lurus atau tumbukan antar lempeng benua Indo-Australia dengan Eurasia di sepanjang palung Jawa-Sumatera yang masih tegak lurus.

Ekstensi menyebabkan penipisan kerak bumi dan menciptakan reservoir magma cukup besar di kedalaman lebih dari 20 kilometer di bawah kompleks Krakatau. Di atas reservoir itulah terdapat beberapa kantong magma yang dipasok lewat retakan-retakan.

Meski masih ada misteri di bagian palung, Hery menegaskan, secara umum Selat Sunda secara geologi sangat aktif oleh aktivitas kegempaan, gunung api, dan gerak tektonik penurunan yang cepat. Selat yang memiliki kedalaman tidak lebih dari 100 meter, kecuali di kompleks Krakatau yang bisa mencapai 200 meter, ini juga dihiasi morfologi graben alias lembah berarah utara-selatan, yang diperkirakan kelanjutan dari patahan Sumatera yang menerus sampai ke palung Jawa.

“Pembangunan mega-infrastruktur, seperti jembatan atau terowongan, di Selat Sunda tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa wilayah tersebut sangat aktif,” katanya.

(WURAGIL, Koran Tempo, 17 Nop.2009)

Read Full Post »

Tanah telantar diambil negara.

— Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan memastikan pihaknya akan merehabilitasi sekurang-kurangnya 500 ribu hektare hutan per tahun sebagai salah satu agenda besar kontrak kerjanya dalam lima tahun mendatang. Ia juga akan merehabilitasi 13 daerah aliran sungai di Jawa mulai awal 2010. “Seperti Brantas dan Bengawan Solo,” katanya saat memaparkan program 100 hari di kantornya kemarin.

Pengurangan pembakaran hutan, lahan gambut, maupun hutan alam juga masuk agenda lima tahun. “Sekurang-kurangnya 20 persen, ” katanya. Terutama, kata dia, menurunkan emisi di titik-titik biasa terjadi kebakaran hutan di Riau, Jambi, Kalimantan Tengah.

Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional itu juga menyatakan tidak ada lagi pembangunan kehutanan tanpa melibatkan publik. Ia memastikan bakal ada keberpihakan kepada mereka yang selama ini dianggap terpinggirkan dalam pembangunan sektor kehutanan. Masyarakat di sekitar hutan, kata Zulkifli, harus merasakan manfaat alam, yakni hutan. Caranya, dengan meningkatkan hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan hutan rakyat.

Agenda penting lainnya adalah menyelaraskan permasalahan tata ruang antara provinsi dan kabupaten. Saat ini banyak yang masih tercatat sebagai hutan lindung, tapi sudah jadi kantor bupati atau gubernur. “Dalam 100 hari akan dilihat dan diperbaiki serta akan dikeluarkan Perpu, sehingga peraturan kehutanan tidak tumpang tindih,” katanya.

Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan menertibkan 7,13 juta hektare tanah telantar dan mengalokasikannya untuk kepentingan negara tanpa ganti rugi. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria bahwa semua tanah dapat diambil negara apabila dibiarkan telantar.

“Akan diperuntukkan bagi cadangan negara untuk kepentingan strategis, seperti pangan, energi, dan perumahan rakyat,” kata Kepala BPN Joyo Winoto dalam pertemuan dengan Menteri Negara Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa dan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Jakarta, Ahad malam lalu.

Ia menerangkan, tidak semua tanah yang telantar adalah tanah tanpa pemilik. Tanah-tanah ini bisa jadi setelah tiga tahun atau lebih tak pernah dikelola. Jika dalam tempo sebulan setelah peringatan para pemilik tanah tidak merespons, kata Joyo, hak kepemilikannya akan dicabut.

(Koran Tempo, 17 Nop 2009)

Read Full Post »

Semua proyek selesai pada 2011 dan 2012.

— Manajemen PT PLN (Persero) membutuhkan dana sekitar Rp 8,6 triliun untuk memperkuat sistem transmisi dan distribusi listrik di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Direktur PLN Jawa-Bali-Madura Murtaqi Syamsuddin mengatakan pendanaan sebesar itu berasal dari kredit ekspor sebesar US$ 3 miliar dan kas PLN Rp 800 miliar.”Sisanya, sekitar Rp 5 triliun, dari pemerintah, pinjaman, dan program lainnya,” ujarnya akhir pekan lalu.

Menurut dia, dana itu nantinya akan digunakan untuk memperkuat sistem pasokan listrik di Jakarta dan sekitarnya, di antaranya untuk pemasangan trafo baru pada beberapa gardu induk serta pembangunan saluran listrik tegangan tinggi 150 kilovolt (kV) dan saluran udara tegangan ekstratinggi 500 kV. Semua program tersebut akan berjalan pada 2011 sampai 2012. “Karena prosesnya (pencairan dana sampai tender) tak bisa cepat.”

Murtaqi menjelaskan, padamnya listrik di sebagian Jakarta dan sekitarnya baru-baru ini akibat tertundanya kegiatan investasi transmisi dan distribusi. “Pembangunan pembangkit baru tak sejalan dengan pembangunan di hilirnya,” katanya. Akibatnya, terjadi pembebanan berlebihan pada sistem transmisi dan distribusi.

Seharusnya, kata dia, pembangunan pembangkitan dibarengi dengan pembangunan pada sektor hilir. “Namun, semua itu tak bisa dipenuhi PLN karena tidak adanya dana investasi pada transmisi dan distribusi.” Murtaqi menyatakan, ke depan, PLN akan mengusahakan pembangunan yang seimbang pada sisi pembangkitan dan distribusi.

Sedangkan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan, untuk mempercepat proses pemulihan listrik, sudah didatangkan trafo cadangan dari Surabaya. Peralatan gardu induk 500 dan 150 kV, kata dia, sudah dipesan dari Jepang dan Prancis.
“Saya dengar hari ini sudah sampai Cawang dan selesai minggu ketiga Desember, tapi coba dipercepat jadi minggu satu atau kedua Desember,”tuturnya.

Untuk mengatasi pemadaman, Fahmi telah memerintahkan kepada manajemen wilayah PLN membeli listrik dari swasta. “Sedang diusahakan dari Cikarang Listrindo 50 MW, akan ditingkatkan 100 MW dan Bekasi Power 37 MW. Kurangnya 200 MW, jadi masih ada 70 MW yang masih shortage sampai Cawang selesai,”katanya.

Menurut Fahmi, kebutuhan listrik Jakarta sebesar 5.200 megawatt (MW). “Jawa-Bali sekitar 15 ribu MW.Untuk Jakarta,krisis selesai jika Cawang selesai. JawaBali aman setelah masuk tiga pembangkit baru,”ujarnya.

Pasokan listrik di Jakarta makin mengalami krisis setelah terbakarnya dua trafo gardu induk di Kembangan, Jakarta Barat, dan Cawang, Jakarta Timur, pada 27 September dan 29 September lalu. Dampaknya, pasokan listrik kehilangan daya sekitar 800 megawatt dan terjadi pemadaman listrik sebagian Jakarta dan sekitarnya.

Sementara dua trafo yang terbakar itu belum pulih, pada 2 November sekitar pukul 23.40 WIB, terjadi kerusakan pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Muara Karang. Disusul kerusakan pada trafo di gardu induk Gandul, Cinere, Depok.
Akibatnya, PLN harus melakukan pemadaman bergilir karena kehilangan pasokan 650 megawatt.

(Ali Nur Yasin, Rieka Rahadiana, Koran Tempo, 16 Nop 2009)

Read Full Post »

Oleh : Prasetyo Roem

Pengantar.

Hemat listrikKenaikan harga riil listrik tidak bisa dihindarkan. Kenaikan harga listrik dunia rata-rata 7% setahun, sedangkan Indonesia sudah dicanangkan akan ada kenaikan 6% tiap 4 bulan. Salah satu alasan kenaikan harga ini adalah untuk membangun pembangkit baru guna mencukupi kebutuhan kenaikan konsumsi listrik. Jika setiap konsumen bisa menghemat antara 5 – 10% saja, maka ada kemungkinan pada tahun ini tidak diperlukan pembangkit baru. Pemerintah bisa ikut berperan untuk mendukung program penghematan energi ini dengan memberikan insentif pada pelaksanaannya. Sesungguhnya program hemat energi ini memberikan keuntungan pada semua pihak, konsumen bisa mengurangi pembayaran rekening, perusahaan listrik tidak dikejar-kejar bikin pembangkit baru, pemerintah bisa mengurangi jumlah rencana hutang. Program penghematan listrik adalah bukan sekedar masalah teknis semata, melainkan merupakan pertimbangan dan keputusan manajemen, terutama ditinjau dari segi keuangan. Uraian di bawah ini terutama ditujukan untuk para pemakai listrik yang besar dengan rekening listrik diatas Rp100 juta per bulan.

Bagaimana Caranya?

Secara garis besar cara penghematan pemakaian energi dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu:

1. Peninjauan ulang sistem teknis dan perbaikan arsitektur bangunan.

Dari hasil studi, statistik dan pengukuran pada sejumlah gedung bertingkat di Jakarta diperoleh fakta bahwa beban listrik untuk AC rata-rata mencapai sekitar 60% dari seluruh pemakaian listrik. Fokus penghematan harus diarahkan pada sistem pendinginan ini, misalnya memilih/mengganti unit AC dengan yang mempunyai EER  rendah atau memperbaiki sistem aliran refrigerant agar bisa lebih hemat listrik, dan mengurangi beban pendinginan. Salah satu beban pendinginan yang besar adalah sinar matahari yang langsung masuk ke dalam ruang, terutama antara jam 10 pagi sampai jam 15. Dengan memasang penghalang sinar matahari pada sisi timur dan barat di luar gedung pada sudut jam 10 dan jam 14, akan bisa sangat mengurangi secara drastis beban pendinginan. Pemasangan vertical blind di dalam gedung tidak ada artinya bagi mesin AC, karena radiasi sinar matahari sudah terlanjur masuk ke dalam ruang dan akan tetap menjadi beban mesin AC. Perambatan panas matahari melalui dinding dapat dikurangi dengan menambah isolator panas. Isolator panas yang cukup baik adalah udara. Pemakaian dinding dobel dengan jarak antara dinding sekitar 10 cm akan sangat menghambat perambatan panas. Pemakaian batako pres dengan rongga udara di bagian tengah juga bisa mengurangi perambatan panas. Udara dingin yang keluar atau udara panas yang masuk sama-sama memboroskan energi. Dengan melakukan peninjauan ke lapangan, ke setiap ruang, selalu akan dapat diperoleh beberapa lubang kebocoran udara dingin dengan udara panas yang harus segera ditutup. Hasil pengukuran di pintu lobi hotel yang dibiarkan terbuka pada siang hari, dan udara dingin keluar, menunjukkan pemborosan sebesar 5000 watt, yang setara dengan 10 bh rumah rakyat KPR-BTN. Pemasangan pintu tutup otomatis, pintu putar atau alat “air curtain” bisa mengatasi masalah ini.

2. Perbaikan prosedur operasionil secara manual.

Beberapa prosedur operasional yang dapat dengan mudah dilaksanakan antara lain: mewajibkan kepada para pemakai gedung untuk selalu mematikan lampu atau AC jika sedang tidak ada orang, mematikan lampu yang dekat jendela kaca pada siang hari, tidak menyalakan pompa pada jam 18-23 karena harga listrik lebih mahal, selalu menutup pintu dan jendela yang memisahkan ruang berAC dengan yang tidak, selalu memeriksa lampu jalan dan lampu taman yang sering lupa untuk dimatikan pada siang hari. Prosedur operasional yang tampaknya sederhana ini ternyata dalam pelaksanaannya tidaklah semudah seperti yang dikatakan. Diperlukan petunjuk, teguran, pengawasan yang terus menerus dan melibatkan banyak orang, sampai menjadi suatu kebiasaan atau budaya hemat listrik.

3. Perbaikan prosedur operasionil secara otomatis.

Cara seperti no 2 di atas masih mudah dan bisa dilaksanakan untuk gedung pendek atau pabrik kecil, dan akan menjadi sulit dilaksanakan untuk gedung 25 lantai atau pabrik lebih besar dari 5000m2. Untuk mengatasi kesulitan ini, telah tersedia banyak jenis sensor dan actuator untuk berbagai keperluan. Sensor level cahaya, sensor pintu sedang terbuka/tertutup, sensor keberadaan seseorang di dalam ruangan, pengatur waktu otomatis, dan lain sebagainya bisa dirangkai dan dikombinasikan untuk mencapai tujuan penghematan listrik. Konfigrasi jaringan sensor juga bisa direncanakan dengan seksama. Bahkan sekarang juga telah tersedia teknologi “addressable” sensor, actuator dan monitor. Setiap unit bisa diberi address, dan hubungan antar unit cukup dilihat sebagai antar address. Selama addressnya sama, dimanapun berada, selalu bisa saling berhubungan. Semua koneksi komunikasi dilakukan secara paralel dengan cukup menggunakan 2 kabel telepon biasa. Misalnya sensor keberadaan orang di ruang rapat lantai-17 diberi address nomer 34, maka jika ada orang di dalam, maka lampu ruang (address=34) akan menyala, AC ruang rapat (address=34) akan menyala, lampu tanda minta kopi di pantry (address=34) menyala, lampu tanda monitor di ruang kontrol di basement (address=34) juga menyala. Jika Ruang Rapat tersebut kosong dalam waktu 10 menit, makan semua yang berhubungan dengan address 34 akan mati semua. Petugas jaga di ruang monitor mempunyai kuasa untuk mematikan semua yang berhubungan dengan adress no 34. Semua dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, tanpa komputer. Salah satu kelemahan BAS (Building Automation System) terletak pada SDM yang sering “gaptek” (gagap teknologi) program komputer, baik pada sisi operator maupun manajemen. Dengan demikian, banyak BAS yang tidak dipakai secanggih kemampuannya.

4. Pemasangan alat penghemat listrik di seluruh instalasi.

Pada prinsipnya pada kebanyakan beban (peralatan yang memakai listrik), selalu bisa dihemat listriknya walau sedikit. Di sini diperlukan kejelian dan keahlian untuk menentukan memilih jenis beban dan alat yang sesuai untuk penghematan. Beban lampu pijar, lampu neon, pemanas, unit AC, motor, dan lain-lain, semuanya mempunyai alat penghemat yang spesifik/unik berdasarkan kinerja beban, schedul pemakaian beban. Dalam persoalan ini, yang lebih penting adalah “multiplier effect” dari penghematan yang kecil-kecil ini. Pengertian “multiplier effect” ini yang masih sulit diterima oleh sebagian besar teknisi/insinyur kita, yang sudah terbiasa dengan penghematan secara parsial. Berapa tingkat penghematan total yang bisa diperoleh untuk suatu instalasi, hanya bisa diestimasi berdasarkan statistik dari banyak program/ proyek yang pernah dilakukan. Perusahaan yang bergerak dalam bidang penghematan energi listrik ini mempunyai rahasia angka “multiplier” yang tidak bisa dibuka terhadap clientnya. Dengan demikian kontrak yang bisa dilakukan berupa “Result Oriented Contract”, atau “Performance Contract”, terhadap tingkat penghematan yang mencakup seluruh instalasi/jaringan listrik dalam satu gedung tinggi, kompleks bangunan atau pabrik. Perusahaan Kontraktor Penghemat Biaya Listrik melakukan audit energi yang biasa dipakai, mencari peluang kemungkinan di mana saja bisa dilakukan penghematan, menghitung/estimasi besar penghematan, menjamin besar penghematan dalam persen, menghitung waktu pengembalian modal (payback period). Dengan cara ini, tingkat penghematan yang bisa dicapai antara 5-20%, dengan payback period sekitar 30 bulan

5. Perbaikan kwalitas daya listrik.

Dalam seminar HAEI (Himpunan Ahli Elektro Indonesia), November 2001, terungkap bahwa di beberapa instalasi di Jakarta ditemukan beberapa anomali parameter listrik, misalnya arus netral lebih besar daripada arus fasa, alat pemutus daya bekerja walau beban arus terukur masih 60% dari kapasitasnya, motor lebih cepat panas dari biasanya. Semula hal-hal ini membuat bingung para insinyur listrik dan untuk mengatasinya sementara, mereka menambah ukuran kawat netral, sehingga sama dengan ukuran kawat fasa (yang biasanya cukup setengah dari kawat fasa), memperbesar kapasitas pemutus daya, kapasitas motor dlsb. Di sinilah ternyata telah dilakukan salah satu pemborosan baik berupa biaya listrik bulanan maupun biaya modal investasi. Salah satu penyebabnya adalah adanya “harmonisa” yang timbul/ada di dalam jaringan listrik.

Seperti halnya pengetahuan tentang tubuh manusia, harmonisa bisa dianalogikan dengan kolesterol di dalam darah. Kolesterol merambat ke seluruh aliran darah, bisa menyumbat saluran darah, membuat jantung bekerja lebih keras, menyumbat otak, bahkan bisa menghentikan kerja jantung. Harmonisa juga merambat ke seluruh jaringan instalasi, membuat kabel lebih panas, mesin-mesin motor lebih panas (kemampuan menurun), sambungan-sambungan pada pemutus daya lebih panas, trafo utama (jantung bangunan) lebih panas. Hal yang fatal bisa terjadi adalah panas berlebih pada kabel, sambungan kabel dan pada trafo yang bisa meledak dan bisa mengakibatkan kebakaran.

Harmonisa ini, disamping menjalar di dalam instalasi satu konsumen, bisa menjalar ke instalasi tetangga yang berdekatan, bahkan menjalar sampai ke trafo PLN di Gardu Distribusi dan Gardu Induk. Jadi, tidak heran jika ada Gardu Distribusi atau kabel PLN yang semula aman aman saja, tiba-tiba bisa meledak.

Harmonisa timbul pada 2 dekade belakangan ini akibat pemakaian alat-alat “modern”, yang banyak dipakai untuk sistem kontrol yang lebih baik, misalnya inverter, pengatur kecepatan/putaran, UPS (Uninteruptible Power Supply), ballast elektronik, pengatur temperatur pemanas industri (oven, heater) yang menggunakan SCR/chopper, dll.

Fenomena harmonisa ini tidak bisa dideteksi dengan alat-alat ukur biasa yang ada pada panel kontrol atau tang-amperemeter biasa. Seperti halnya stetoskop biasa yang tidak bisa mendeteksi kolesterol atau kinerja jantung dengan teliti, maka diperlukan alat ECG, maka untuk harmonisa ini juga diperlukan spektrum analyzer yang bisa mendeteksi tingkat harmonisa 1 s/d 31 dan besaran nilai harmonisa dalam persen dan bisa menghitung nilai total harmonisa, pada arus dan tegangan.

Untuk mengatasi masalah harmonisa ini, bisa dipasang alat penyaring dan penyumbat (filtering and blocking) pada sumber-sumber harmonisa atau pada panel utama konsumen. Dari hasil pengukuran harmonisa bisa ditentukan besaran filter yang sebaiknya dipakai. Jika beban berubah-ubah, nilai filter juga bisa dibuat otomatis berubah sesuai dengan perubahan beban.

Pemborosan energi juga terjadi pada besaran listrik lain, yakni pada tegangan dan arus yang tidak seimbang,  power factor, arus/tegangan surja (surge, impuls), tegangan surut sesaat, kehilangan catu daya sesaat, catu daya hilang 1 fasa. Asosiasi produsen listrik Amerika (NEMA), menerbitkan grafik karakteristik mesin motor, yang menunjukkan bahwa ketidak-seimbangan tegangan supply sebesar 5% saja, bisa mengakibatkan kenaikan panas sebesar 50%, dan mengakibatkan penurunan kapasitas sebesar 25%. Jika mesin motor 10 PK tidak mampu mengangkat beban sebesar 10 PK atau bahkan 8 PK, maka perlu dicurigai, dan ini yang sering lolos dari perhatian manajemen. Teknisi biasanya hanya menyarankan untuk memakai motor yang lebih besar saja, biar aman, tetapi tanpa sadar memboroskan modal dan rekening listrik. Dengan alat ukur dan recorder yang bisa sekaligus, pada saat yang bersamaan, membaca grafik tegangan pada masing-masing fasa, ternyata pada banyak kasus, terjadi perbedaan tegangan fasa sekitar 2 – 7 Volt. Ketidak-seimbangan arus fasa menyebabkan terjadinya arus netral yang tidak wajar, menyebabkan panas berlebih pada kawat netral (kawat nol), yang juga memboroskan energi. Dengan memasang alat-alat penyeimbang fasa tegangan dan arus, maka kerugian/pemborosan bisa dikurangi. Alat-alat kontrol pabrik atau instalasi gedung bertingkat bisa terganggu akibat tegangan surut sesaat, kehilangan catu daya sesaat, atau catu daya hilang satu fasa. Kerugian akibat berhentinya pabrik atau aktivitas gedung akibat gangguan alat kontrol tersebut tidak mudah untuk dihitung secara umum, tetapi secara kwalitatif pasti terjadi kerugian yang besar pada kasus-kasus khusus, misalnya percetakan koran, pabrik dengan proses batch yang tidak bisa diulang.

Perbaikan kwalitas daya dengan mengurangi pemborosan yang selama ini dilakukan tanpa disadari, bisa mencapai penghematan total sebesar 5 – 25% dari rekening bulanan. Angka ini berasal dari statistik program pelaksanaan penghematan energi, dan merupakan “multiplier effect” dari penghematan kecil-kecil pada tiap parameter listrik.

Investasi yang diperlukan untuk mendanai program-program penghematan energi ini, dengan tingkat penghematan seperti di atas, dapat kembali dalam waktu sekitar 24 bulan, atau bisa mencapai tingkat ROI (return on investment) sebesar 30-38%. Jika investasi ini dipandang sebagai pendirian usaha baru, maka ini adalah usaha yang memberikan keuntungan pasti, bisa berjalan sendiri, tanpa menambah tenaga kerja, tanpa demo, tanpa pemogokan. Jika bank sekarang ini pada kondisi over-liquid, kenapa tidak menyalurkan dana pada program ini?. Jaminan payback period bisa di perkuat dengan jaminan asuransi, maka ini merupakan lahan baru bagi perusahaan asuransi di Indonesia. Investasi untuk program ini jika dihitung rupiah/kwh terhemat, masih jauh lebih kecil dari pada rupiah/kwh pembangkitan.

Read Full Post »

Negara-negara berkembang kemarin berkeras agar upaya mengikat secara hukum traktat perubahan iklim bakal terwujud dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, bulan depan. Padahal Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan sejumlah pemimpin dunia lainnya menganggap hal itu belum mungkin terlaksana.

“Kami percaya kesepakatan untuk mengikat secara hukum masih mungkin,” ujar Menteri Lingkungan Grenada Michael Church, yang mengaku mewakili 40 negara yang tergabung dalam Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil tersebut. Church optimistis, sedangkan Duta Besar Sudan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa –Lumumba Di-Aping – pesimistis.

“Kita jalan di tempat,” ujar DiAping, yang mengaku mewakili negara-negara sedang berkembang di Grup 77 dan Cina. Tengok saja pernyataan tuan rumah, Denmark. “Waktunya amat sangat terbatas untuk merangkum seluruh kesepakatan,” ujar Menteri Lingkungan Denmark Troels Lund Poulsen.

Maklumlah, di Kopenhagen akan datang lebih dari 40 menteri lingkungan yang cuma punya waktu berunding selama dua hari. Itu belum seberapa. Isu pemangkasan gas rumah kaca dan jumlah dana bagi negara-negara miskin juga masih jadi kendala untuk bersepakat. Itu mengemas traktat perubahan iklim masih jauh panggang dari api.

“Saya akan ke Kopenhagen bilamana kehadiran saya berarti bagi adanya kesepakatan yang penting,” ujar Presiden Obama dalam kunjungannya ke Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Singapura. Obama termasuk yang menyokong pembahasan kesepakatan hukum tentang perubahan iklim itu ditunda hingga 2010. Komentar Obama ini mengundang kecaman dari juru kampanye iklim Greenpeace, Joss Garman. “Sudah 12 tahun semenjak Protokol Kyoto dan dua tahun dari negosiasi di Kopenhagen, tapi Obama bilang masih butuh waktu untuk bicara?” ujarnya. “Dunia tak bisa mundur dan menundanunda lagi.”

Boleh jadi Garman ada benarnya. Tengok saja hasil riset kelompok konservasi alam internasional, WWF , Ahad lalu. Kata WWF , Dhaka, Manila, dan Jakarta adalah kota-kota utama di Asia yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim dunia. “Rentan terhadap gelombang pasang air laut, badai, dan dampak perubahan iklim lainnya,” begitu ujar WWF .

Jakarta dan Manila (Filipina) disebut amat rentan lantaran ukuran dan seringnya terkena banjir serta rendahnya kemampuan beradaptasi. Dalam laporan bertajuk “Mega-Stress for MegaCities” itu disebutkan sejumlah kota lainnya yang juga rawan, antara lain Kalkuta, Phnom Penh, Ho Chi Minh, Shanghai, Bangkok, Hong Kong, Kuala Lumpur, dan Singapura.

“Kota-kota besar mengkonsumsi 75 persen energi dan bertanggung jawab atas jumlah emisi karbon dioksida yang sama yang menyebabkan pemanasan global,” kata Nicholas Stern, bekas Kepala Ekonomi Bank Dunia yang pernah menulis kaitan ekonomi dengan perubahan iklim pada 2006. “Perubahan iklim bukanlah perubahan di dalam air semata.”

Dan, seperti diungkapkan WWF, Asia, yang padat populasinya, adalah benua yang paling rentan terhadap perubahan iklim itu. Kalau jalan-jalan utama tergenangi air akibat banjir, akankah transaksi ekonomi berjalan mulus? Akankah tumbuh-tumbuhan bisa dipanen di pengujung musim?

(Koran Tempo, 17 Nop 2009)

Read Full Post »

Panel Antar Pemerintahan untuk Perubahan Cuaca (Climate Change) , dalam laporannya, menyebutkan terjadinya peningkatan gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Bersama gas-gas rumah kaca lainnya, CO2 menjadi biang keladi perubahan iklim. Hutan bakau (mangrove) ternyata mempunyai kemampuan menyerap gas tersebut.

Hal ini ditunjukkan oleh Nyoto Santoso dalam risetnya di Batu Ampar, Kalimantan Barat, pada 2007.  Nyoto mencatat bahwa bakau dengan kondisi baik mampu menyerap karbon sebesar 10,68 ton/hektare/tahun. Penelitian lain dilakukan oleh Ball– seperti dikutip oleh Sukardjo (1996)– yang menunjukkan bahwa fotosintesis bakau secara khas terpenuhi mencapai ½-2/3 dari seluruh radiasi sinar matahari. Lalu mempunyai suhu optimum di bawah 35 derajat Celsius dan memiliki titik kompensasi CO2 yang mudah ditera. Pada kondisi normal, keseimbangan CO2 secara linier berhubungan dengan daya hantar listrik daun.

Menurut Ball, kecepatan asimilasi banyak berkurang pada suhu daun yang tinggi. Pada beberapa jenis bakau, kecepatan asimilasi relatif tidak terpengaruh oleh suhu dengan kisaran 17-30 derajat Celsius, melainkan menurun secara tajam pada suhu di atas 30 derajat Celsius dan mendekati nol pada suhu 40 derajat Celsius.

Selain peredam CO2, bakau memiliki fungsi lain. Davis, Claridge, dan Natarina mencatat sejumlah manfaat itu.

  1. menjadi habitat satwa langka, seperti 100 jenis burung, termasuk burung langka Blekok Asia.
  2. melindungi bangunan, tanaman pertanian, atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses penyaringan.
  3. pengendapan lumpur, sehingga kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
  4. penambah unsur hara.
    penambat racun.
  5. sumber alam dalam kawasan (in-situ) dan luar kawasan (ex-situ).
  6. transportasi.
  7. sumber plasma nutfah.
  8. tempat rekreasi dan pariwisata.
  9. sarana pendidikan dan penelitian.
    memelihara proses-proses dan sistem alami.
  10. penyerapan karbon.
  11. memelihara iklim mikro.
  12. mencegah berkembangnya tanah sulfat masam.

Tidak hanya itu, buah dan daun bakau dapat diolah menjadi bahan baku beragam makanan kecil, sirop, dan urap.
Berdasarkan penelitian Departemen Kelautan dan Perikanan, buah bakau mengandung gizi seperti karbohidrat, energi, lemak, protein, dan air. Karbohidrat yang terkandung di dalamnya mencapai sekitar 76,56 gram per 100 gram.
Buahnya mengandung senyawa yang bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti monosakarida, terutama glukosa, galaktosa, dan fruktosa.

(UWD, Koran Tempo 17 Nop 2009)

Read Full Post »