Oleh : Boedi Tjahjono (Kompasiana.com, 15 November 2009 )
Boedi Tjahjono, Mantan Pertamina dan Praktisi Bidang Energi & Migas, dalam sebuah artikelnya di Kompasiana.com tanggal 15 November 2009 baru-baru ini, memberi tanggapan atas komentar Faisal Basri, seorang Pengamat Ekonomi , dan mengatakan “Bung Faisal terima kasih atas tanggapan anda, dan diagram alur “bagi hasil” produksi Migas amat membantu untuk mengerti alur dari sistem Production Sharing Contract”(“Migas-Kekayaan yang Terkubur”)
“Saya amat tertarik dengan kata-kata ‘monetisasi kekayaan alam’, dimana dalam pengertian saya untuk monetisasi, bahwa kekayaan alam baru memiliki ‘value’ atau nilai moneter bila sudah dapat dibuktikan dan terukur secara quantitative dan qualitative secara teknis, administratif dan legal”. “Melihat bagan alur yang anda sajikan, tentu akan timbul pertanyaan ..siapa yang me-manage, mengelola proses alur PSC tersebut , khususnya yang menjadi bagian dari Negara?”, demikian tanggapan Boedi lebih lanjut.
Sejak ditetapkannya UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas pada tanggal 23 Nopember 2001 dan PP No. 42 tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas maka masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Bagi Hasil (Productions Sharing) yang sebelumnya dilaksanakan oleh PERTAMINA kini dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BPMIGAS .
Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung didalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Dan selanjutnya pemerintah membentuk Badan Pelaksana untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS).
Produksi crude oil Republik ini sekarang sekitar 900,000 BOPD (Barrel Oil Per Day) dan produksi gas sekitar 7500 juta kaki kubik per hari ( 7500 MMSCFD) atau sekitar 7.5 juta MMBTU dan ini semua dikelola oleh BP Migas.
Berarti BP Migas mengelola Revenue Negara (dengan asumsi kasar harga Crude Oil $60/BBL dan harga gas $ 3/MMBTU) dengan nilai sekitar :
Crude Oil : 900,000bblx$60/BBL= $ 54 juta/hari atau sekitar $ 19.7 milyar/tahun
Gas Alam : 7.5 juta MMBTU/day x $ 3/MMBTU = $22.5 juta/hari atau sekitar $ 8.2 milyar/tahun.
Total sekitar $19.7 milyar + $ 8.2Milyar = $ 27.9 milyar/Tahun = sekitar Rp 279 trilliun/th
“Jumlah yang fantastic, dan ini merupakan revenue dari “giant corporation”, demikian kata Boedi.
“Perputaran uang sebesar ini, semua dikelola dan di manage di BP Migas, dan kalau melihat nilai perputaran uang BP Migas merupakan lembaga non departemen yang mengelola perputaran uang yang terbesar di Republik ini”.
“Perusahaan Publik yang listing di BEJ, yang “turn over-nya” mungkin hanya 1/100 dari nilai “turn over” , BP Migas diwajibkan secara regular memberikan laporan kinerja-nya yang berupa balance sheet dan profit & loss statement secara regular kepada publik, tapi publik tidak pernah melihat sepotong juga laporan kinerja BP Migas dari aspek finansial di publikasikan”, demikian lebih lanjut kata Boedi Tjahjono.
Masih menurut BP Migas, cadangan minyak terbukti Indonesia masih sekitar 3,900 MMSTB (Million Standard Barrel), dan cadangan terbukti gas sekitar 90 TCF (trillion cubic feet), apabila cadangan ini benar dan sudah tersertifikasi, berarti nilai monetisasi-nya adalah sekitar :
Crude Oil = 3,900,000,000 x $60 = $ 234,000,000,000
Gas Alam = 90,000,000,000MMBTU x $3/MMBTU = $ 270,000,000,000
Total Nilai Monetisasi sekitar $ 500 milyar.
Ini yang mungkin dimaksud “monetisasi” kekayaan alam minyak dan gas bumi oleh Faisal Basri, tinggal bagaimana kita mengelolanya.
Tapi kalau cara pengelolaannya tidak ada sistem pengaturannya untuk pertanggungan jawab ke publik secara transparan, maka hal ini tentunya sangat disayangkan sekali (catatan : hal ini perlu counter check ke BPMigas).
Tinggalkan komentar