Negara-negara berkembang kemarin berkeras agar upaya mengikat secara hukum traktat perubahan iklim bakal terwujud dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, bulan depan. Padahal Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan sejumlah pemimpin dunia lainnya menganggap hal itu belum mungkin terlaksana.
“Kami percaya kesepakatan untuk mengikat secara hukum masih mungkin,” ujar Menteri Lingkungan Grenada Michael Church, yang mengaku mewakili 40 negara yang tergabung dalam Aliansi Negara-negara Kepulauan Kecil tersebut. Church optimistis, sedangkan Duta Besar Sudan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa –Lumumba Di-Aping – pesimistis.
“Kita jalan di tempat,” ujar DiAping, yang mengaku mewakili negara-negara sedang berkembang di Grup 77 dan Cina. Tengok saja pernyataan tuan rumah, Denmark. “Waktunya amat sangat terbatas untuk merangkum seluruh kesepakatan,” ujar Menteri Lingkungan Denmark Troels Lund Poulsen.
Maklumlah, di Kopenhagen akan datang lebih dari 40 menteri lingkungan yang cuma punya waktu berunding selama dua hari. Itu belum seberapa. Isu pemangkasan gas rumah kaca dan jumlah dana bagi negara-negara miskin juga masih jadi kendala untuk bersepakat. Itu mengemas traktat perubahan iklim masih jauh panggang dari api.
“Saya akan ke Kopenhagen bilamana kehadiran saya berarti bagi adanya kesepakatan yang penting,” ujar Presiden Obama dalam kunjungannya ke Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Singapura. Obama termasuk yang menyokong pembahasan kesepakatan hukum tentang perubahan iklim itu ditunda hingga 2010. Komentar Obama ini mengundang kecaman dari juru kampanye iklim Greenpeace, Joss Garman. “Sudah 12 tahun semenjak Protokol Kyoto dan dua tahun dari negosiasi di Kopenhagen, tapi Obama bilang masih butuh waktu untuk bicara?” ujarnya. “Dunia tak bisa mundur dan menundanunda lagi.”
Boleh jadi Garman ada benarnya. Tengok saja hasil riset kelompok konservasi alam internasional, WWF , Ahad lalu. Kata WWF , Dhaka, Manila, dan Jakarta adalah kota-kota utama di Asia yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim dunia. “Rentan terhadap gelombang pasang air laut, badai, dan dampak perubahan iklim lainnya,” begitu ujar WWF .
Jakarta dan Manila (Filipina) disebut amat rentan lantaran ukuran dan seringnya terkena banjir serta rendahnya kemampuan beradaptasi. Dalam laporan bertajuk “Mega-Stress for MegaCities” itu disebutkan sejumlah kota lainnya yang juga rawan, antara lain Kalkuta, Phnom Penh, Ho Chi Minh, Shanghai, Bangkok, Hong Kong, Kuala Lumpur, dan Singapura.
“Kota-kota besar mengkonsumsi 75 persen energi dan bertanggung jawab atas jumlah emisi karbon dioksida yang sama yang menyebabkan pemanasan global,” kata Nicholas Stern, bekas Kepala Ekonomi Bank Dunia yang pernah menulis kaitan ekonomi dengan perubahan iklim pada 2006. “Perubahan iklim bukanlah perubahan di dalam air semata.”
Dan, seperti diungkapkan WWF, Asia, yang padat populasinya, adalah benua yang paling rentan terhadap perubahan iklim itu. Kalau jalan-jalan utama tergenangi air akibat banjir, akankah transaksi ekonomi berjalan mulus? Akankah tumbuh-tumbuhan bisa dipanen di pengujung musim?
(Koran Tempo, 17 Nop 2009)
Tinggalkan komentar